Partisipasi politik penyandang disabilitas dalam pemilu diangkat di hari kedua konferensi. Peserta berdiskusi bagaimana mengintegrasikan ide tentang inklusi disabilitas ke dalam komunitas dan sistem ASEAN.

Dalam sesi utama, Penasihat Senior dari Kementrian Sosial Indonesia, Makmur Sunusi, menekankan pentingnya meningkatkan kesadaran. Dia menyatakan bahwa partisipasi politik jarang dibahas di komunitas ASEAN dan UNESCAP – bahkan tidak disebut dalam tujuh prioritas Dekade ASEAN untuk penyandang disabilitas

Pendekatan lain yang diusulkan Sunusi adalah membangung kelompok kerja dengan fokus atas isu-isu ini. Dalam kelompok ini para pemangku kepentingan bisa saling berbagi masalah, pendapat, dan pengalaman. Sunusi menambahkan bahwa kelompok kerja semacam ini belum ada di wilayah Asia Tenggara.

Yusdiana, Programme Manager untuk Persatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI) menyampaikan strategi yang bisa diterapkan oleh komunitas disabilitas untuk meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas. Strategi-strategi itu antara lain pemetaan kapasitas, membuat kegiatan untuk memperbesar kapasitas, meningkatkan usaha advokasi penyandang disabilitas dan mencari kesempatan mengirim proposal ke organisasi dan lembaga yang relevan.

“The rights of women, children, the elderly, persons with disabilities, migrant workers, and vulnerable and marginalised groups are an inalienable, integral and indivisible part of human rights and fundamental freedoms.”

Peserta juga membahas Deklarasi Hak Asasi ASEAN (DHAA) yang diumumkan di bulan November. Dokumen yang penting ini menegaskan posisi ASEAN atas hak asasi manusia dan membentuk pondasi bagi instrumen yang mengingat secara hukum.

Rafendi Djamin, perwakilan Indonesia di ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR), menyatakan melalui video bahwa HRAA mencerminkan pentingnya mengikutsertakan penyandang disabilitas dalam Pemilu.

Djamin berkata bahwa DHAA memandang penyandang disabilitas sebagai bagian yang integral dari hak asasi manusia. Pengakuan ini secara khusus dinyatakan dalam deklarasi: “Hak-hak perempuan, anak-anak, manula, penyandang disabilitas, pekerja migran, dan kelompok rentan dan terpinggirkan adalah bagian yang tidak terpisahkan, terpadu, dan tidak terlepas dari hak asasi manusia dan kebebasan yang fundamental.”

Djamin berkata, “perumusan semacam itu… menjadi dasar bagi penyandang disabilitas untuk disertakan sebagai bagian dari Deklarasi Hak Asasi Manusia.” Dia mengajak organisasi penyandang disabilitas untuk bekerja sama dengan AICHR.

Yuyun Wahyuningrum, penasihat senior pada Human Rights Working Group (HRWG), koalisi organisasi hak asasi manusia, juga meminta agar organisasi masyarakat sipil dengan ASEAN terus berkesinambungan, asalkan menjaga sikap. Dia berkata,”Kita tidak bisa bersikap naif demi menjaga idealisme, tapi kita harus lebih taktis dan strategis saat berurusan dengan ASEAN. Mari kita lihat deklarasi ini sebagai dokumen yang hidup dan berevolusi.”

“Let us look at the (ASEAN Human Rights) declaration as … a living evolving document.”

Wahyuningrum yakin bahwa DHAA harus dianggap sebagai alat untuk mencapai tujuan. Dalam konteks penyandang disabilitas, ini berarti bahwa DHAA merupakan satu dari sekian banyak alat yang bisa digunakan untuk memaksimalkan perlindungan atas penyandang disabilitas. Namun, jangan dijadikan sebagai satu-satunya cara.

Wahyuningrum juga memaparkan beberapa tujuan konkrit yang bisa dilakukan oleh organisasi penyandang disabilitas. Salah satunya adalah mendirikan kelompok pakar di dalam tubuh AICHR yang berurusan dengan hak penyandang disabilitas. Dia juga menyarankan untuk membuat tim pemantauan Pemilu independen untuk menilai partisipasi politik penyandang disabilitas di kawasan Asia Tenggara.

Ketiga pembicara di sesi ini mempertegas bahwa ada ruang untuk bekerja sama dengan ASEAN mengusung perlindungan hak penyandang disabilitas.